BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pasar merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat yang
tumbuh kembangnya disesuaikan dengan kebiasaan norma adat di suatu
wilayah, yang kemudian pasar tersebut menjadi sarana kegiatan perekonomian
yang menopang dan memfasilitasi kebutuhan masyarakat. Kegiatan
perekonomian tersebut menjadi tempat bertemunya penjual dan pembeli. Di
tinjau dari perkembangannya pasar dapat diartikan sebagai lembaga atau
institusi yang dikelola oleh pemerintah sehingga transaksi perdagangan dapat
terjadi dengan baik. Dalam pengertian yang lebih modern, pasar adalah
mekanisme yang memungkinkan bertemunya penawaran dan permintaan, baik
dalam pengertian fisik maupun non-fisik.
Pasar tradisional dalam aktifitasnya selain memenuhi kebutuhan di
lingkungannya dalam hal ini masyarakat yang membutuhkan barang dan jasa,
pasar memiliki fungsi lain yang lebih luas seperti sebuah pendapat bahwa
pasar tradisional memiliki potensi sebagai ikon daerah, Setiyanto (dalam
Djau, 2009).
Berangkat dari hal tersebut pasar tradisional yang pada awalnya
menggunakan metode-metode yang mengutamakan insting dalam proses
transaksinya dengan calon pembeli, sudah seharusnya menempatkan posisinya
sejajar dengan pasar modern dengan menggunakan strategi manajeman yang
baik, mengingat perkembangan teknologi, informasi dan inovasi begitu
cepatnya, namun hal itu tidak sejalan dengan pasar tradisional itu sendiri.
Dengan mengedepankan pertimbangan-pertimbangan khusus guna
meningkatkan kualitas secara keseluruhan demi nilai tambah atas produk
maupun jasanya itu menjadi penting demi persaingan yang seimbang atas
transformasi pasar itu sendiri di era perdagangan bebas ini.
Pemerintah melalui Menteri Perdagangan Republik Indonesia
No.53/M-DAG/PER/12/ 2008 sampai saat ini masih tetap mempertahankan
pasar tradisional ditengah masyarakat walaupun keberadaanya mulai kembang
kempis karena banyaknya pasar modern yang mulai menjamur ke pelosok
wilayah, hal ini dapat terlihat bahwa di Jawa Tengah pada tahun 2011 masih
terdapat pasar tradisional sebanyak 1.561unit.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka dapat diambil
permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah variabel strategi pemasaran berpengaruh terhadap pengambilan
keputusan penjualan.
2. Apakah variabel perkembangan teknologi informasi pemasaran
berpengaruh terhadap pengambilan keputusan penjualan.
3. Apakah variabel inovasi berpengaruh terhadap pengambilan keputusan
penjualan.
4. Apakah variable strategi pemasaran, teknologi informasi, dan inovasi
secara bersama-sama berpengaruh terhadap variable pengambilan
keputusan.
5. Apakah pengaruh variable yang paling dominan terhadap pengambilan
keputusan adalah teknologi informasi.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan maka tujuan penelitian
ini adalah:
1. Untuk mengetahui apakah variabel strategi pemasaran, perkembangan
teknologi informasi, dan inovasi berpengaruh terhadap pengambilan
keputusan pada pasar tradisional di Solo secara parsial.
2. Untuk mengetahui variabel manakah yang paling dominan dalam proses
pengambilan keputusan penjualan.
3. Memberikan edukasi kepada pasar tradisional dan dinas terkait atas
perilaku ekonominya melalui hasil penelitian.
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Telur Strongyle pada sapi.................................................Gambar 2. Telur Oesophagostomum sp……………………............
Gambar 3. Telur Ostertagia sp. ……………....................................
Gambar 4. Telur Trichostrongylus axei………….............................
Gambar 5. Telur Bunostomum phlebotomum ………......................
Gambar 6. Telur Chabertia ovina………..........................................
Gambar 7. Telur Nematodirus filicolis.............................................
Gambar 8. Variasi telur Strongyle pada pemeriksaan
feses menggunakan metode sentrifus .................................
Gambar 9. Peta persebaran feses positif Strongyle di
DIY dan sekitarnya ..............................................................
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi sebagai sumber protein hewani di Indonesia
Indonesia merupakan negara potensial dalam pengembangan sapi. Sapi
merupakan hewan ternak yang dapat menopang kebutuhan daging hal ini karena
sapi mudah dan sederhana untuk dikembangbiakkan (Yulianto dan Saparinto,
2010). Sapi memiliki nilai ekonomi yang tinggi serta memenuhi gizi protein
hewani bagi masyarakat. Kebutuhan daging sapi pada tahun 2015 sebanyak
640.000 ton, meningkat sebanyak 8,15% dibandingkan tahun sebelumnya yaitu
590.000 ton. Kenaikan kebutuhan daging sapi potong saat ini tidak diimbangi
dengan populasi sapi potong dalam negeri (Sudarmono dan Sugeng, 2016).
Taksonomi dari sapi potong menurut Setiadi dkk. (2012) adalah sebagai berikut :
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Sub kelas : Eutheria
Ordo : Artiodactylia
Sub ordo : Ruminantia
Famili : Bovidae
Genus : Bos
Spesies : Bos taurus, Bos indicus, Bos sundaicus
Bangsa sapi yang sudah dikenal di dunia berasal dari Homacodontidae
yang dijumpai pada zaman Palaeocene. Jenis primitifnya ditemukan di Asia.
Perkembangan dari jenis primitif yang kemudian berevolusi dan diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok, yaitu: Bos sundaicus atau yang biasa disebut dengan
banteng, Bos indicus atau sapi Zebu yang ditemukan di Asia, dan Bos taurus yang
merupakan sapi asal Eropa (Murtidjo, 1992).
Nematoda gastrointestinal
Nematoda gastrointestinal adalah cacing nematoda yang hidup di saluran
pencernaan. Nematoda berasal dari filum nemathelmintes. Nematoda sering
disebut cacing gilig karena bentuk tubuhnya. Cacing ini memiliki bentuk tubuh
silindris dan memanjang mengecil pada salah satu bagian tubuhnya (Urquhart et
al., 1996). Tubuh dari nematoda tidak bersegmen tetapi memiliki kutikula. Sistem
digesti berbentuk tubular, bentuk mulut dari nematoda terbuka dengan jumlah dua
atau tiga bibir dan berlanjut langsung ke esophagus. Golongan Strongyloid
memiliki bentuk mulut besar yang disebut buccal capsule. Nematoda terbagi
menjadi bursata dan non bursata. Trichostrongyloidea dan Strongyloidea adalah
superfamili nematoda yang memiliki bursata (Monnig, 1950).
Telur Strongyle
Telur Strongyle dapat ditemukan pada feses beberapa hewan yaitu sapi,
kambing, domba dan unta. Telur Strongyle terlihat memiliki bentuk oval dan tepi
yang tipis, di dalamnya terlihat bergerombol berbentuk seperti kumpulan sel
seperti anggur (morula). Perkembangan stadium pertama larva terjadi di telur dan
telur yang sudah berlarva dapat ditemui pada sampel feses yang disimpan lama
(Zajac dan Conbuy, 2012).
Telur Strongyle yang menetas menjadi larva dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti temperatur, kelembaban dan larva itu sendiri. Larva menghasilkan
enzim dimana dapat merusak lapisan cangkang telur sehingga larva dapat menetas
(Urquhart dkk., 1996).
Gambar 1. Telur Strongyle pada sapi (Zajac dan Conbuy, 2012)
Nematoda gastrointestinal pada sapi
Oesophagostomum sp.
Oeshopagostomum sp. merupakan cacing nematoda yang sering
menyebabkan nodul pada kolon ruminansia. Panjang cacing jantan yaitu 12-16,5
mm dan panjang cacing betina yaitu 15-21,5 mm dengan lebar tubuh 0,45 mm.
Cacing ini memiliki alae serviks yang besar. Kutikula pada nematoda ini
membentuk mulut dan kollar yang tinggi berbentuk seperti trunkus yang
mengerucut. Kira-kira 0,25 mm dari batas akhir anterior terdapat cervical groove
yang memanjang mengelilingi permukaan ventral ke aspek lateral tubuh (Monnig,
1950). Kapsula bukal dangkal berbentuk cincin dan terdapat lanset pada corong
esophagus (Levine, 1990).
Oesophagostomum sp.
Oeshopagostomum sp. merupakan cacing nematoda yang sering
menyebabkan nodul pada kolon ruminansia. Panjang cacing jantan yaitu 12-16,5
mm dan panjang cacing betina yaitu 15-21,5 mm dengan lebar tubuh 0,45 mm.
Cacing ini memiliki alae serviks yang besar. Kutikula pada nematoda ini
membentuk mulut dan kollar yang tinggi berbentuk seperti trunkus yang
mengerucut. Kira-kira 0,25 mm dari batas akhir anterior terdapat cervical groove
yang memanjang mengelilingi permukaan ventral ke aspek lateral tubuh (Monnig,
1950). Kapsula bukal dangkal berbentuk cincin dan terdapat lanset pada corong
esophagus (Levine, 1990).
Gambar 2. Telur Oesophagostomum sp. (Allwin et al., 2016).
Ostertagia merupakan cacing perut yang ditemukan di ruminansia.
Memiliki ukuran telur yaitu 70-84 x 40-50 mikron (Anderson, 2000). Cacing ini
sering disebut cacing lambung coklat. Kepala dan kapsula bukal kecil serta
memiliki papilla servikalis. Spikulum pendek yang berakhir dengan 2 atau 3
tonjolan. Terdapat sebuah gubernakulum. Vulva terletak 1/5 posterior tubuh dan
kadang tertutup oleh cuping kutikuler. Panjang cacing jantan yaitu 6-8 mm
dengan spikulum 220-230 mikron berakhir pada tiga tonjolan berkait. Cacing
betina memiliki panjang 8-10 mm (Levine, 1990).
Gambar 3. Ostertagia sp. (Taira et al., 2003).
Trichostrongylus sp.
Cacing ini memiliki nama lain yaitu cacing rambut, cacing perusak atau
cacing diare hitam. Kepala kecil tanpa kapsula bukal dan papilla servikal.
Spikulum berwarna kecoklatan, pendek, kuat dan bergerigi dan memiliki
gubernakulum. Vulva cacing betina sedikit di belakang pertengahan tubuh dan
mempunyai bibir menonjol. Cacing jantan memiliki panjang 2-6 mm dengan
diameter 50-60 mikro, dengan spikulum coklat tua dan tidak sama besar (Levine,
1990). Bursa kopulatriks dan spikulum pendek dan terletak di posterior. Cacing
betina mempunyai panjang 3-8 mm dan diameter 55-70 mikron. Cacing betina
memiliki kapsula bukalis, tidak ada tonjolan, meruncing di posterior (Levine,
1990; Noble and Noble, 1982). Telur cacing ini memiliki ukuran yaitu 75-107 x
30-47 mikron (Levine, 1990).
Cacing ini memiliki nama lain yaitu cacing rambut, cacing perusak atau
cacing diare hitam. Kepala kecil tanpa kapsula bukal dan papilla servikal.
Spikulum berwarna kecoklatan, pendek, kuat dan bergerigi dan memiliki
gubernakulum. Vulva cacing betina sedikit di belakang pertengahan tubuh dan
mempunyai bibir menonjol. Cacing jantan memiliki panjang 2-6 mm dengan
diameter 50-60 mikro, dengan spikulum coklat tua dan tidak sama besar (Levine,
1990). Bursa kopulatriks dan spikulum pendek dan terletak di posterior. Cacing
betina mempunyai panjang 3-8 mm dan diameter 55-70 mikron. Cacing betina
memiliki kapsula bukalis, tidak ada tonjolan, meruncing di posterior (Levine,
1990; Noble and Noble, 1982). Telur cacing ini memiliki ukuran yaitu 75-107 x
30-47 mikron (Levine, 1990).
Gambar 4. Trichostrongylus axei (70-90 x 40-45 mikron) (Fadli dkk., 2014).
Bunostomum sp.
Cacing ini berpredileksi di usus halus. Cacing dewasa memiliki panjang
10-28 mm (Kauffmann, 1996). Bunostomum sp. memiliki ujung anterior
membengkok ke dorsal. Kapsula bukal infundibuler, dengan dua lempeng
pemotong ventral semilunar pada tepinya, terdapat dua lanset kecil di dekat
eosofagus dan sepasang lanset subventral yang lebih kecil pada dinding lateral
kapsula bukal. Panjang cacing betina yaitu 16-19 mm dan diameter 500-600
mikron. Telur memiliki bentuk elips berukuran 79-117 x 47-70 mikron (Levine,
1990).
Gambar 5. Bunostomum phlebotomum (80-90 x 50-70 mikron) (Fadli dkk., 2014).
Chabertia sp.
Genus cacing ini mirip dengan Oesophagostomum sp. dengan perbedaan
ujung anterior membengkok, sehingga mulut menghadap ke anteroventral,
mempunyai dua daun mahkota yang sangat kecil dan tidak memiliki lanset di
dalam corong esophageal. Kepala kapsul bukal berukuran relatif besar. Panjang
cacing betina yaitu 17-20 mm dengan diameter 500 mikron. Cacing jantan
memiliki panjang 13-14 mm dengan diameter tubuh 330 mikron dengan spikulum
langsing dan gubernakulum yang panjang. Telur berukuran 77-100 x 45-59
mikron (Levine, 1990). Chabertia sp. menempel pada kolon menyebabkan anemia
dan kematian pada domba (Monnig, 1950).
Genus cacing ini mirip dengan Oesophagostomum sp. dengan perbedaan
ujung anterior membengkok, sehingga mulut menghadap ke anteroventral,
mempunyai dua daun mahkota yang sangat kecil dan tidak memiliki lanset di
dalam corong esophageal. Kepala kapsul bukal berukuran relatif besar. Panjang
cacing betina yaitu 17-20 mm dengan diameter 500 mikron. Cacing jantan
memiliki panjang 13-14 mm dengan diameter tubuh 330 mikron dengan spikulum
langsing dan gubernakulum yang panjang. Telur berukuran 77-100 x 45-59
mikron (Levine, 1990). Chabertia sp. menempel pada kolon menyebabkan anemia
dan kematian pada domba (Monnig, 1950).
Gambar 6. Chabertia ovina (85-90 x 50-55 mikron) ( Fadli dkk., 2014).
Nematodirus sp.
Tubuh cacing ini sangat ramping dan semakin menipis ke bagian depan,
dengan ujung anterior yang menggembung. Lehernya terdapat gelungan. Infeksi
akibat Nematodirus sp. menyebabkan diare profus dan mortalitas mencapai 30%
(Bowman, 2014). Mulutnya sirkuler dan mempunyai mahkota yang bergerigi
kutikula tajam dan kecil yang dibelakangnya terdapat 6 papila besar yang
membentuk lingkaran internal yang diikuti lingkaran eksternal dari delapan papila
kecil. Cacing ini memiliki gigi esophageal dorsal yang jelas. Spikulum panjang
dan filiform dan biasanya tidak ada gubernakulum. Ekor cacing betina berbentuk
kerucut terpancung, umumnya dengan penonjolan runcing di ujungnya. Panjang
cacing jantan yaitu 10-19 mm dan berdiameter 180-200 mikron. Cacing betina
memiliki panjang 15-29 mm dengan diameter 460 mikron. Telur cacing berukuran
180-260 x 90-110 mikron (Levine, 1990).
Gambar 7. Nematodirus filicolis (140-150 x 75-80 mikron) ( Fadli dkk., 2014).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tingkat prevalensi Strongyle di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta danHasil
sekitarnya dilakukan dengan pemeriksaan feses pada sapi dewasa yang akan
dikonsumsi. Berdasarkan hasil pemeriksaan 633 sampel feses sapi yang berasal
dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya, ditemukan 221 feses sapi yang
positif telur cacing Strongyle sp.
Telur Strongyle pada sampel feses mengindikasikan bahwa sapi tersebut
didiagnosa terkena Strongylidosis. Sesuai dengan literatur, telur Strongyle sp.
yang ditemukan pada pemeriksaan feses berbentuk ovoid, segmented, dan
berdinding tebal (Soulsby, 1982). Rata-rata ukuran telur Strongyle yang
ditemukan adalah ±78.19 X 34.71 μm.
Tingkat Infeksi dapat dikategorikan menurut (Purnamaningsih et al., 2007)
ringan apabila EPG<1000 dan kategori berat EPG>1000. Data penelitian
menunjukkan bahwa infeksi berat yang didapatkan adalah 20,3% dan infeksi
ringan adalah 79,7%.
Pada Gambar 9. dapat dilihat peta persebaran telur Strongyle di DIY dan
sekitarnya. Jumlah sampel terbanyak positif adalah Sleman , Yogyakarta.